Wednesday, January 25, 2017

Buku Pertama: Habibie, Tak Boleh Lelah dan Kalah! Sebuah Persembahan Spesial untuk Generasi Muda Indonesia



Bulan Januari ini saya awali dengan pergi ke toko buku dengan ibu. Kebetulan ibu beli 1 buku yang menarik sekali. Bukunya “Habibie: Tak Boleh Lelah dan Kalah! Sebuah Persembahan Spesial untuk Generasi Muda Indonesia”. Pak Habibie adalah idola saya. Saya mengagumi kemampuannya dalam bidang IPTEK yang seimbang dengan IMTAQ. Buku tersebut diawali dengan dengan foto Pak Habibie di depan pesawat N-250/Gatotkoco, dilanjutkan dengan kisah hidup beliau dari lahir-hobi membaca-sekolah jauh dari orangtua-menikah-membuat pesawat, dan 50 Gagasan Brilian beliau yang ditulis dengan huruf berukuran besar sehingga enak dibaca. Tak lupa pula diselingi dengan koleksi foto Pak Habibie.

Ini dia bukunya :)

Melihat foto Pak Habibie di awal buku (itu lho yang di depan N-250) saja saya merasa merinding. Satu kata yang menggambarkan kekaguman saya adalah “wow!” Lalu saya lanjut lah baca bukunya. Di antara semua kisah yang diceritakan, hal yang paling berkesan adalah perjuangan Pak Habibie selama sekolah dan akhirnya berhasil membuat pesawat N-250/Gatotkoco. MasyaAllah, setiap saya baca tentang pesawat N-250 itu, saya terharu. Haha. Dulu waktu nonton film Habibie-Ainun juga saya nangis pas momen pesawat N-250 berhasil uji coba. Rasanya kaya diingatkan bahwa kalau cinta sama Indonesia ya buktikan. Lalu kalau mau mencapai cita-cita ya harus mau berjuang keras.

Soal N-250 yang berkesan bagi saya (sampai bikin nangis x) ) ada dalam kutipan berikut:

“Hingga datanglah hari itu, dimana Indonesia yang miskin visi teknologi membuktikan kegagahannya dalam bidang teknologi tinggi. Uji coba penerbangan N-250/Gatotkoco sukses digelar. N-250/Gatotkoco menjadi satu-satunya pesawat turboprop saat itu yang mempergunakan teknologi fly-by-wire. Sertifikasi FAA (Federal Aviation Administration) tengah dalam proses. Indonesia bersorak riang sekaligus haru. Dunia tercengang. Indonesia bersiap terbang. Kepak sayap garuda mulai bersiap menerbangkan negeri ini ke tempat yang lebih tinggi dan bermartabat. Akan tetapi, keriangan itu tak bertahan lama. Reformasi terjadi. IPTN ditutup, begitu pula dengan industri strategis lainnya. Di dunia ini hanya 3 negara yang dipaksa menutup industri strategisnya, Jerman karena kalah perang, Jepang karena kalah perang, dan Indonesia. Sekarang, semua tenaga ahli teknologi Indonesia terpaksa diusir dari negara sendiri dan mereka bertebaran di berbagai negara, khususnya pabrik pesawat di Brazil, Kanada, AS, dan Eropa. Hati siapa yang tidak sakit menyaksikan itu semua? Saya bilang ke Presiden ‘Kasih saya uang 500 juta dolar dan N-250 akan menjadi pesawat terhebat yang mengalahkan ATR, Bombardier, Dornier, Embraer, dan lain-lain, dan kita tak perlu bergantung dengan negara mana pun!’ Tapi keputusan telah diambil dan karyawan IPTN yang berjumlah 16.000 harus mengais rezeki di negeri orang, dan gilanya lagi kita yang beli pesawat negara mereka!”. 

Man, kebayang sakit hatinya Pak Habibie saat itu gimana. Dia percaya sama kemampuannya dan juga kemampuan anak bangsa yang bekerja sama dengannya. Tapi tiba-tiba di-shut down.
Saya langsung suuzhon, jangan-jangan ada permainan internasional yang sengaja ingin meredupkan Indonesia. Saya membayangkan betapa takutnya negara-negara maju itu kalo Indonesia akhirnya bisa mandiri. Bisa mempunyai industri pesawat yang dapat mendukung pemerataan sumber daya dari Sabang sampai Merauke. Tentu mereka akan kehilangan pasar yang besar dan mungkin akan takut bersaing.
:’(

Anyway, 2 hal lagi yang berkesan bagi saya dari buku tersebut ada di bagian Gagasan Brilian, yaitu tentang preferensi Pak Habibie serta tips menjaga cinta (caelah…ada aje bagian cintanya padahal fakir cinta). 

Ini yang pertama:
“Lebih suka jadi presiden atau bikin pesawat?”
Pak Habibie menjawab “Saya lebih suka bikin pesawat. Semua rasional dan tidak ada pikiran yang tidak jujur dan tidak transparan, karena jikalau ada manipulasi, pesawat terbang akan jatuh!”

Ini yang kedua:
Menjaga cinta. Ketika saya melamar Ainun untuk menjadi istri, saya garis bawahi hal-hal berikut:
1.       Ainun dan saya harus terbuka, jujur, dan tulus memberi dan menerima pandangan, pemikiran, dan keinginan masing-masing. Antara kami tidak boleh ada sekat atau dinding pemisah.
2.       Masa lampau Ainun adalah milik Ainun dan masa lampau saya adalah milik saya! Masa depan adalah milik Ainun dan saya.
3.       Ainun dan saya berjanji untuk selalu bersama membangun keluarga sejahtera, penuh dengan cinta yang berakar pada nilai-nilai Al-qur’an dan budaya kami.
4.       Agar Ainun menjadikan saya sebagai suami yang ia idamkan dan saya menjadikan Ainun sebagai istri yang saya cita-citakan.
Jikalau saya mendapat godaan dalam bentuk apa saja, maka selalu saya kembalikan ke-4 kesepakatan Ainun dan saya tersebut.

Kagum saya sama Pak Habibie *pengen ketemu langsung* :) Orangnya sederhana, ga pake ribet, rasional, bijaksana, dan manis.

Setelah baca buku itu, saya ngerasa belum bisa berkontribusi untuk Indonesia sebesar Pak Habibie. Sedikit-sedikit ya Pak saya kontribusinya. Di lingkup yang terjangkau oleh saya saat ini.  

Oya, balik lagi soal baca buku. Sekarang saya sedang baca buku karangan Desi Anwar yang judulnya “Hidup Sederhana”. Bukunya menarik. Isinya tentang memaknai hidup sehari-hari dan juga koleksi foto milik Desi Anwar yang sepertinya sudah keliling dunia x) insyaAllah nanti saya lanjut cerita tentang buku itu kalau ngga tiba-tiba terserang penyakit males. Hehehe. Ups, ngga boleh males kata Eyang Habibie….

Baca Buku



Hai :)

Jadi ceritanya tahun 2017 ini saya punya cita-cita membaca 1 buku per bulan. Bukunya bisa buku apa saja, asalkan saya suka. Cita-cita ini bermula dari pengalaman di akhir tahun 2016.

Di akhir tahun 2016 lalu, saya meliburkan diri. Tidak mengambil pekerjaan apapun. Energi saya seperti benar-benar habis terkuras sehingga saya merasa butuh ‘menyendiri’. Suatu malam saat saya ‘menyendiri’, saya tengok lemari di kamar. Ada satu buku yang belum saya selesai baca dan satu buku yang masih terbungkus rapi. Buku yang pertama adalah Twivoritare, buku kedua adalah Architecture of Love. Dua-duanya karangan Ika Natassa. Saya pikir, sayang amat sudah dimulai tapi ngga diselesaikan. Jadi akhirnya saya selesaikan deh baca Twivortiare nya :D Setelah kelar baca Twivortiare, saya pikir sayang amat buku kedua udah dibeli tapi ngga dibaca. Haha. Akhirnya saya putuskan untuk membaca.

Momen dimana saya membaca sendiri di kamar itu ternyata menyenangkan. Saya seperti menemukan kembali kesenangan saya yang sudah lama hilang, membaca. 

Saat membaca, saya merasa bisa membayangkan tokoh-tokoh yang ada di cerita. Pikiran saya berkelana ke tempat-tempat menyenangkan yang diceritakan dalam buku. Saya pun bisa turut merasakan emosi yang dialami tokoh dalam cerita. Sesekali juga saya mengritik tokoh dalam cerita yang value dan tingkah lakunya sepertinya bertentangan. Tapi ya sudah… Namanya juga cerita.
 
Malam setelah saya selesai membaca Architecture of Love, saya merasa senang sekali. Sejak malam itu, saya bercita-cita membaca 1 buku per bulan.

Monday, January 9, 2017

Pertanyaan Keramahan yang Tidak Ramah


Sepupu sebaya saya menikah pada tanggal 7 Januari lalu. Mengingat yang nikah adalah sepupu sebaya saya-yang usianya sedikit lebih muda dari saya, beberapa hari sebelum hari pernikahan dia, saya sudah membayangkan beberapa jenis pertanyaan yang akan ditanyakan ke saya, antara lain:

“Ayo, kapan nikah?”
“Udah ada calon belum?”
“Kapan nih mau ngenalin calonnya?” , dll.

Kemudian saya juga mereka-reka, bagaimana saya akan menjawab pertanyaan tersebut. Misalnya:
“Hmm, nunggu calon yang cocok.”
“Udah ada, tapi belum ketemu kali.”
Atau “Doain aja…”

Saya membayangkan diri saya tersenyum ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, sesungguhnya di dalam hati saya, rasanya getirrrr. Pait banget. Saya tidak bisa memungkiri bahwa ada rasa ngga enak di dalam hati (atau pikiran saya?) meski saya mencoba tersenyum. Gini ya, pertanyaan tipikal tersebut sungguh tidak saya ketahui jawabannya. Jodoh, rezeki, maut cuma Allah yang tau. Yeah…meski manusia juga punya andil dalam “mengusahakan”. 

Kecemasan akan pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat saya curcol pada teman saya. Dia bilang, “Anggap saja itu pertanyaan keramahan. Toh jawabannya juga kita ngga tahu. Cuma Allah yang tahu jawabannya.”

Saya merasa lega-an.

*

Sehari sebelum hari-H, saya berkunjung ke rumah sepupu saya tersebut. Ceritanya, saya diminta tolong mendampingi sepupu saya (alias jadi LO) yang lagi sibuk ngurusin nikahannya besok. Berhubung sebagian besar capeng (calon pengantin) kerjakan sendiri, saya terbayang bagaimana riweuh nya sepupu saya. Bahkan ketika saya datang, masih ada sekitar 200 souvenir yang belum dibungkus. Hihihi. Langsung deh kerja bakti.

Momen kumpul dengan keluarga ini sesungguhnya sangat saya sukai. Kenapa? Karena pada dasarnya keluarga besar saya menyenangkan. Seneng deh kalo bercanda dan jalan-jalan sama mereka. TAPI, pada momen itu segalanya berubah karena negeri api menyerang. Eaaa. Hahaha. Menyerang saya dengan pertanyaan dan pernyataan tipikal tersebut. Awalnya saya berniat menghitung dan mencatat pertanyaan dan pernyataan tersebut, tapi ngga jadi karena kebanyakan dan rasanya kurang kerjaan banget ngitungin gituan. Hahahahaha.

“Iya, tolong dampingi dia ya… Mudah-mudahan dengan ngedampingin, Kak Utet cepet nyusul!”
Ok, masih ketawa. 

“Kak Utet kapan? Habis lebaran ya?”
Haha *mulai nyengir getir karena ngga tau mau jawab apa*

“Yah, Kak Utet kesusul deh…”
Ya Tuhan… Nikah bukan lomba lari!!! Saya tau betul nikah bukan lomba lari, tapi perasaan saya tetep ngga enak dibilang kesusul.

“Sok atuh Kak Utet, mulai serius mencari.”
Nah, yang ini saya suka. Karena bener. 

“Kakak LO, sabar yah…”
Saya diam. Berusaha mencerna maksudnya apa. Kemudian saya marah campur sedih. Pernyataan tersebut adalah pernyataan yang bikin saya baper dan mikir kemana-mana. Pernyataan tersebut membuat saya mikir “Hah?! Apa gw se-pathetic itu cuma jadi LO? Disuruh sabar karena sampe sekarang belum nikah-nikah?” Sampai saya mikir jahat “Mudah-mudahan situ dapet ujian kesabaran yang lebiiiih dari saya.” Setelah mikir jahat, baju saya ketumpahan minuman. Astaghfirullah. Hahahaha. Saya merasa saya diingatkan Allah untuk ngga mikir jahat-jahat. 

Di akhir acara, ketika pamitan, tante saya bilang gini…
“Nah, sekarang mah giliran aku doain Kak Utet yah biar beneran nikah tahun ini.”
Saya bilang “Sungguh ya didoain?”
Dijawab “Iya…”
Hati ini jadi adem-an...

*

Sepanjang malam setelah acara nikahan tersebut hingga tulisan ini saya buat, perasaan dan pikiran saya masih ngga enak. Timbul pertanyaan-pertanyaan:

Kenapa harus menikah cepat-cepat?
Apakah menikah cepat menambah nilai saya di mata orang-orang?
Kenapa kesannya “nilai” saya turun ketika saya belum menikah di usia 27 ini?
Masih ada yang mikir nikah itu susul-susulan?
Yang nanya-nanya sebenernya betul-betul care ngga dengan kondisi saya?
Kenapa ngga coba ajak saya bicara secara pribadi tentang topik ini?
Ngga tau kan kenapa sampai saat ini saya belum menikah?

*

Setiap orang punya alasan tersendiri terkait pilihan-pilihan yang ia ambil.
Setiap orang punya waktunya sendiri untuk segala hal dalam hidupnya.

*

Saya, perempuan 27 tahun, belum menikah, bukan karena saya tidak mau menikah. Saya punya cerita sendiri tentang kenapa hingga saat ini saya belum menikah dan tidak ingin saya ceritakan di blog.
Gini…Sejak awal saya sudah mewanti-wanti diri saya untuk tidak baper, tapi ternyata susah. Saya coba rasionalisasi dengan cara nginget nginget teorinya Erik Erikson “Individu usia dewasa muda (sekitar 20 – 40 tahun) memiliki krisis “Intimacy vs Isolation”. Jadi, memang di usia tersebut seorang individu mulai berpikir soal hubungan romantis dan pengembangan karier. Saya pikir, wajar saja saya sekarang mengalami krisis yang dimaksud dalam teori tersebut” pun tetap saja susah. Ditambah lagi perasaan kesepian yang mulai sering bertamu.

Intinya, pertanyaan atau pernyataan keramahan tersebut sebenarnya tidak ramah buat saya. Buat pikiran saya. Buat harga diri saya. Jadi alangkah baiknya, pertanyaan atau pernyataan keramahan tersebut dipikir dan disampaikan sedemikian rupa sehingga tidak menyinggung orang yang ditanyakan. Atau kalau itu cuma pertanyaan iseng, mending ngga usah nanya daripada bikin orang sedih.

*

Yaela Marina baper amat. Hahahahaha. Tapi kalo Anda jadi saya, mungkin Anda bisa paham kenapa saya baper untuk urusan satu ini. Salah satu krisis yang masih saya upayakan untuk saya hadapi dan atasi.

*

Nah, buat yang masih baper (nunjuk diri sendiri), inget bahwa masalah itu jadi masalah karena kita pikir itu masalah. Jadi, hayuuu atasi masalah dan/atau ubah cara pikir supaya baper nya ngga mengganggu. Anggap saja pertanyaan itu reminder dari Allah. Anggap aja orang itu perhatian sama kita. Pikir yang positif-positif.
Jangan lupa, yang paling penting adalah… Sabar.

*
 
Tolong maafin saya kalau ada perkataan/perbuatan saya yang sengaja/tidak sengaja menyinggung/menyakiti. Daaaan…
Doakan saya ya! :) (baca dengan intonasi ala-ala Benteng Takeshi)